Menelisik Indikasi adanya ‘Mafia Tanah’ di Proyek Jalan Tol (5) ————-
Seperti ‘Api Dalam Sekam’. Mungkin, itu kalimat perumpamaan yang pas untuk menggambarkan indikasi kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ di jalur-jalur proyek Jalan Tol yang akan dibangun Pemerintah. Indikasi dugaan kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ yang potensial merugikan warga pemilik tanah di jalur proyek itu, pertama menyeruak di Desa Bakalan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Muncul isu bahwa tanah milik sekitar 70 warga, seluas sekitar 18 hektar, sudah berganti menjadi nama orang lain atau sudah terjual ke pihak ke-3. Padahal, warga merasa belum pernah menjual tanahnya. Pernyataan Notaris Eko Sunu Jatmiko SH ke warga, yang mengakui memproses jual beli tanah di lokasi tersebut, tetapi bukan atas nama para warga pemilik tanah atau penggarap, memperkuat isu tengara kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ ini.
———–
KEDIRI – Kasus dugaan kemungkinan adanya ‘mafia tanah’ pada jalur exit tol di Desa Bakalan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, diyakini sangat potensial adanya pemalsuan data atau dokumen oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, sehingga seakan-akan terjadi proses transaksi jual beli tanah. Padahal, para petani pemilik tanah merasa belum pernah menjual lahannya.
“Kalau sudah muncul kepemilikan atas nama orang lain di lahan yang sama, luasan sama, nomor SPPT PBB sama, dan lokasi sama, kemudian terjadi proses transaksi jual beli, layak diduga dan saya yakin telah terjadi beberapa pemalsuan data dokumen pertanahan pada proses ini. Mengingat, para pemilik lahan yang asli merasa sama sekali tidak pernah transaksi jual beli. Ini bisa masuk ke ranah pidana,”ujar Heriyanto SH, praktisi hukum di Kediri.
HERIYANTO SH : Praktisi Hukum di Kediri
Jika pembeli dan para petani pemilik lahan sama-sama memegang dokumen kepemilikan tanah, lanjut Heriyanto, ke depan sangat potensial terjadi konflik sosial antara pembeli lahan dan pemilik lahan yang asli. Khususnya, menjelang pelaksanaan proyek pembangunan jalan tol dilaksanakan. “Investor merasa sudah membeli dan memegang dokumen, sedangkan para pemilik lahan merasa belum transaksi jual beli. Para pemilik lahan pasti tidak terima. Sedangkan proyek nasional, jika sudah ditetapkan waktunya, tidak mungkin akan menunda-nunda pelaksanaannya. Situasi ini yang potensial memunculkan konflik sosial di tengah masyarakat. Ada kemungkinan, para pemilik lahan akan dikalahkan. Ini bisa berbahaya,” tandasnya.
Guna menghindari atau setidaknya meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik sosial, kasus dugaan adanya perubahan nama pemilik lahan para petani ini harus segera diselesaikan, mumpung masih ada waktu. Jika sudah mendekati pelaksanaan proyek, situasinya bisa berubah dan bisa mengganggu pelaksanaan proyek jalan tol. “Jangan sampai para petani pemilik lahan asli dirugikan. Pembangunan jangan sampai merugikan warga. Jika ada pemalsuan dokumen, harus segera diusut secara hukum. Itu pelanggaran terhadap pasal 263 KUHP. Ancaman pidananya 6 tahun. Biar persoalannya segera terurai dan terang benderang,”tambah Heriyanto. (mam)